Sabtu, 24 Juli 2010

KAJIAN TENTANG BATIK KERATON SURAKARTA

TUGAS AKHIR SEMESTER

“KAJIAN TENTANG BATIK KERATON SURAKARTA”

MATA KULIAH ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR


OLEH :

YUDHI WIDIASTOMO

L2D009007

JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2009

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Batik adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang memiliki kelebihan tersendiri dibanding peninggalan budaya lain yang berprinsip sama, yaitu celup rintang warna. Di antara berbagai sastra tradisional yang menggunakan teknik ini, tidak ada satupun yang tampil seindah dan sehalus batik. Namun, nilai pada batik Indonesia bukan semata-mata pada keindahan visual. Lebih jauh, batik memiliki nilai filosofi yang tinggi serta sarat akan pengalaman transendenitas. Nilai inilah yang mendasari visualisasi akhir yang muncul dalam komposisi batik itu sendiri.

Dalam perkembangannya, sejarah mencatat bahwa penyebaran batik tidak terlepas dari peranan para pedagang ke berbagai pelosok nusantara, bahkan ke Malaysia atau Singapura. Dalam usaha penyebaran itulah, terjadi penetrasi budaya luar yang menambah khasanah perbatikan Indonesia. Fleksibelitas tersebut dapat dilihat melalui batik pesisir yang secara antropologis lebih terbuka terhadap sesuatu yang dibanding daerah pedalaman, menyebabkan masyarakat pendukungnya lebih mudah menerima budaya luar. Salah satu contohnya dapat dilihat dari batik cirebon motif Mega Mendung atau pengaplikasian warna-warna cerah seperti merah tua, merah muda, atau hijau yang merupakan pengaruh kuat dari China.

Selain itu batik juga merupakan salah satu hasil seni dan budaya yang terlahir dari masyarakat sawah, tepatnya di daerah Surakarta. Perkembangan batik sangat didukung oleh keadaan masyarakat yang memiliki banyak waktu luang saat menunggu masa panen tiba, ditambah dengan kompleksitas masyarakat pendukung yang memungkinkan terjadinya pengerjaan batik bukan hanya sebagai kegiatan membatik, tetapi juga memiliki ibadah yang transenden dengan filosofi yang tinggi. Batik itu senfiri berawal dari lingkungan istana, sehingga adanya sebutan batik keraton yang pada akhirnya melusa ke segala lapisan masyarakat. Hal inilah yang memberikan kesan aristokrat dan feodal pada batik keraton.

1.2 Tujuan Penulisan

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menimbulkan penghargaan dalam diri masyarakat Indonesia melalui keuletan, dedikasi, ketekunan, keterampilan dalam membatik maupun usaha pendistribusian agar bentuk kesenian ini tetap lestari dan tidak lekang oleh waktu.

BAB II

KAJIAN TENTANG BATIK KERATON SURAKARTA

2.1 Sejarah Batik

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah suatu sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan bagian dari manusia dengan cara belajar. Dengan kemampuan akal budinya, manusia telah mengembangkan berbagai sistem tindakan, mulai dari yang sangat sederhana ke arah yang lebih kompleks sesuai kebutuhannya. Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa terdapat 3 faktor yang menjadi ciri-ciri kebudayaan. Yang pertama, kebudayaan itu dipelajari satu sama lain dalam satu kelompok. Yang kedua, kebudayaan dipegang secara luas oleh suatu kelompok, dalam artian telah disepakati bersama, dan terkhir kebudayaan mempengaruhi pikiran, tingkah laku, dan perasaan dalam kelompok secara mendalam.

Kebudayaan merupakan suatu struktur yang tersusun sangat rapi dimana suatu komponen tertentu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan banyak komponen lain yang terkait. Adanya perubahan pada suatu komponen menyebabkan perubahan pada komponen lain. Karena itulah kebudayaan tidak pernah statis, melainkan dinamis. Bahkan tanpa adanya pengaruh ekstern pun, kebudayaan akan berubah seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya pola pikir di dalam masyarakat tersebut. Karena perubahan itulah diperlukan adaptasi secara berkelanjutan pada kebudayaan itu sendiri.

Seperti yang diketahui bahwa ada 7 unsur kebudayan, dan kesenian adalah salah satunya. Disini, dapat dilihat bahwa dalam perspektif kebudayaan, kesenian adlahsalah satu elemen penting dan kesenian itu sendiri sangat erat kaitannya dalam kebudayaan.

Dalam makalah ini, batik yang berangkat dari seni tradisi merupakan suatu bentuk kesenian yang merupakan produk budaya yang erat kaitannya dengan keseharian dan bersifat aplikatif meskipun di sisi lain juga memuat sisi transendenitas. Sebenarnya istilah seni tidak ada dalam kamus masyarakat tribal, mengingat seni merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka. Dalam pembahasannya, batik sebagai produk budaya dari masyarakat pendukungnya.

Selain itu, secara rinci diketahui bahwa pada masa Austronesia, Indonesia dikenal sebagai manusia kepulauan maritim yang berjiwa bahari. Kerajaan-kerajaan di Indonesia menjelajah hingga di samudera Hindia dan pasifik (Tabrani, 1995:15). Hal inilah yang membawa pengaruh budaya luar masuk ke Indonesia dan diadaptasi sesuai dengan keperluan. Hal ini pulalah yang menyebabkan sejak abad ketiga Masehi, mulai tampak kebudayaan yang berasal dari India, seiring dengan masuknya agama Hindu Budha.

Mattiebelle Gittinger berpendapat bahwa batik di jawa mempunyai persamaan dengan Cina dalam bentuk stensil. Prosesnya, desain pertama kali dicetak di atas kertas lalu dipotong-potong yang disusul proses pembekasan bagian yang terangkat dengan jalan perekatan stensil pada kain. Proses stensil bersama-sama dengan perekatan dipergunakan sebagai penutup saat kain dicelup pada larutan pewarna.

Peninggalan-peninggalan dari India khususnya motif batik mulai tampak di Jawa pada tahun 1822 (Djajasoebrata, 1972:3), yaitu gambar batik stensilan kertas yang mempunyai persamaan dengan India Selatan yan banyak muncul di batik pesisir daerah Gresik. Hal ini dapat dimengerti karena masyarakat pesisir memang lebih fleksibel menerima pengaruh luar dibanding batik keraton.

Pada zaman Islam purba, motif-motif batik diperkaya dengan berbagai bentuk ilmu ukur, motif huruf arab dan motif asing lain yang ikut berperan dalam pembentukan hiasan batik. Pada perkembangan selanjutnya, hubungan Cina dengan Nusantara semakin erat. Hal ini dapat melalui babad tanah Jawa ketika diceritakan bahwa kerajaan Mataram awal utusan majapahit pergi ke negeri Cina dan pulang membawa Puteri Cempo yang selanjutnya menjadi isteri Prabu Brawijaya yang nantinya menghasilkan keturunan Raden Patah(Romawi, 1989:39). Unsur Cina pada batik keraton muncul pada turunan bentuk yang dihasilkan, seperti halnya motif Cemungkiran sebagai turunan bentuk Lotus dan Sembagen Huk sebagai turunan dari bentuk burung phoenix yang mengadopsi budaya Cina. Bukan hanya pada motif, pengaruh Cina juga muncul pada pemilihan warna dan komposisi yang cenderung cerah dan berani seperti merah, kuning dan biru.

Dari keterangan di atas terkesan bahwa batik bukanlah warisan budaya asli Nusantara. Namun, jika dianalisis, arca peninggalan zaman Sriwijaya-Syailendra dalam penerapan pakainnya memperlihatkan perkembangan desain batik. Seperti halnya pada patung Syiwa dan Singosari Malang (abad 13) dimana terdapat motif kawung dengan isen yang menyerupai motif ceplok (1980:2). Hal tersebut menegaskan bahwa terlihat keterkaitan antara perkembangan batik dengan rekaman sejarah yang tertoreh pada dinding candi. Hal ini dapat dijadikan parameter bahwa batik telah ada saat candi tersebut dibangun.

2.2 Pengertian Batik

Berdasarkan sumber literatur Indonesia Indah : batik, ditinjau dari proses pengerjaan, pengertian, pengertian kata benda dan penggunaannya, batik bisa juga disebut sebagai kain bercorak. Dalam bahasa Jawa sendiripun, kata batik berasal dari kata ‘tik’, yang mempunyai korelasi pada sesuatu hal yang berhubungan dengan pekerjaan yang halus, lembut, detil, dan memiliki unsur keindahan secara visual. Secara etimologis, batik berarti menitikkan malam dengan canting sehingga membentuk corak yang terdiri atas titik dan garis. Sedangkan jika ditinjau sebagai kata benda, batik merupakan hasil penggambaran corak di atas kain dengan menggunakan canting sebagai alat menggambar dan malam sebagai zat perintangnya. Dengan kata lain, membatik merupakan penerapan corak di atas kain melalui proses celup rintang warna dengan malam sebagai medium perintang.

Sebenarnya, selain batik adapula beberapa jenis kain yang diproses dengan teknik celup rintang warna di Indonesia. Meskipun begitu, hasilnya tidak sehalus, serapih dan sedetil batik. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan peralatan, tingkat kerumitan dan kualitas bahan yang dipakai. Contohnya dalam pembuatan kain Simbut yang merupakan kain khas Baduy, suku pedalaman yang bertempat tinggal di sebelah selatan Banten. Bahan perintang pengganti malam dalam pembuatan kain ini adalah bubur ketan atau biasa disebut darih. Sedangkan untuk melukis kain dengan bahan perintang menggunakan buluh kecil atau sabt kelapa untuk mewarnai kain dengan bidang luas (blocking). Corak yang muncul dalam visualisasi kain simbut pun sangatlah sederhana dan terbatas, sesuai dengan peralatan yang digunakan. Bentuk-bentuk geometris dasar seperti lingkaran, segitiga, dan titik yang mendominasi ikonografinya. Zat pewarna yang lazim dipakai juga sebatas hitam, biru tua, dan merah mengkudu, yaitu zat pewarna alami yang dapat diperoleh di lingkungan sekitar.

2.3 Bahan Baku Tekstil dalam Batik

Bahan yang paling tepat untuk pembuatan batik adalah kain yang terbuat dari serat alami seperti kapas, sutera, atau rayon. Sedangkan penggunaan katun sebagai bahan utama batik dimulai sekitar abad ke 17. Pada masa berikutnya dipergunakan pula kain mori dari Belanda. Kain mori kualitas terbaik adalah primissima, yang menengah adalah prima, mori biru untuk batik kasar dan yang terendah adalah belacu. Namun dalam perkembangannya, batik dapat diaplikasikan pada kain wol atau sutera.

Dalam penggunaannya, kain mori digunakan sesuai panjangnya kain yang diperlukan. Pengukuran panjangnya mori tidak mengikuti standar yang pasti seperti halnya jika menggunakan meteran, namun lebih mengacu pada sistem perhitungan tradisional. Ukuran tradisional tersebut dinamakan kacu. Kacu adalah sebutan untuk persegi dari kain mori yang diperoleh dari melipat ujung lebar kain secara diagonal ke titik sisi yang panjang. Dalam sistem pengukuran seperti ini ukuran panajang sekacu sangat bergantung pada lebarnya kain. Karena itulah ukuran sekacu sangat relatif.

Sebelumdibatik, kain mori sebelumnya harus diolah terlebih dahulu. Proses pengolahan mori sebelum dibatik sangat menentukan hasil dari batik itu sendiri. Pertama-tama ujung kain mori diplipit atau biasa disebut di neci. Tujuannya agar benang pakan tidak terurai. Benang pakan adalah benang yang melintang diagonal pada tenunan kain. Setelah diplipit kemudian dicuci dengan air tawar hingga bersih. Tujuannya agar tidak ada kotoran yang berada disela-sela kain sehingga penyerapan lilin rintang dapat maksimal. Untuk daerah Bolra, kain yang selesai dicuci bersih kemudian direbus dengan wantu. Wantu adalah air rebusan yang di bagian dasarnya ditutupi dengan daun bambu, daun pepaya atau merang. Gunanya untuk mencegah hangus atau gosongnya kain yang direbus. Setelah di wantu, kain baru dibilas akhir kemudian dijemur. Tetapi dalam pembuatan batik Yogyakarta dan Surakarta, proses pembersihan mori tidak melewati proses wantu, melainkan langsung direbus.

Setelah kering, mori dikanji dibuat dari beras ketan yang sebelumnya ditumbuk hingga menjadi bubuk. Selesai dikanji kain mori menjadi mengerut dan kaku. Karena itulah dalam proses selanjutnya kain mori tersebut diembun-embunkan selama beberapa hari. Setelah mori lembab, mori kemudian dikemplong untuk melemaskan benang sehingga mempermudah penyerapan malam. Cara mengemplong adalah memukul kain mori dengan cara tertentu pada bagian tertentu pula.

Dalam perkembangan selanjutnya,selanjutnya penghilangan kanji pada mori juga dapat dilakukan dengan menggunakan larutan sam, yaitu dengan larutan asam sulftat (H2SO3) atau asam klorida (HCL). Namun dalam penerapan proses ini kain mori ada kemungkinan mengalami kerusakan jika larutan asam terlalu pekat atau perendaman terlalu lama.

2.4 Peralatan yang digunakan dalam Membatik

Dalam membatik dibutuhkan beberapa peralatan khusus agar mencapai hasil yang halus dan detail. Adapun peralatan yang dipergunakan adalah sebagai berikut:

2.4.1 Canting

Canting biasanya terbuat dari tembaga ringan, mudah dilenturkan, tipis namun kuat, memiliki ukuran dan jumlah cucuk (ujung canting yang mengalirkan malam) bervariasi dan diletakkan pada gagang pembuluh bambu yang ramping.

2.4.2 Malam

Pemalaman adalah proses penggambaran corak dengan prinsip negatif di atas kain dengan menggunakan malam cair dengan canting sebagai alatnya. Proses ini didahului dengan pemolalan. Malam yang dipakai sebagai perintang warna berasal dari sarang lebah. Daerah penghasil sarang lebah antara lain Sumbawa, Timor, Sumba, dan Palembang. Pada awal abad ke-19 ketika penyebaran batik mulai meluas, Palembang sempatt mengirim lilin lebah ke Pulau Jawa. Namun hal ini dianggap terlalu mahal karena pembudidayaan sarang lebah merupakan pekerjaan yang tidak mudah dan memakan waktu yang tidak sedikit.

2.4.3 Pewarna Kain

Pada batik tradisional, pewarna yang digunakan adalah pewarna alami. Contohnya penggunaaan warna cokelat dari pohon tingi, warna biru dari tarum, akar pohon mengkudu yang mengeluarkan warna merah atauan warna cokelat dari pohon tingi, warna biru dari tarum, akar pohon mengkudu yang mengeluarkan warna merah atau kunyit yang memunculkan warna kuning. Warna-warna batik keraton biasanya dihiasi dengan warna-warna tanah seperti cokelat, hitam, krem, putih, atau biru tua. Sedangkan warna cerah seperti merah atau kuning lebih banyak digunakan dalam pembuatan batik pesisir.

2.4.4 Lain-lain

Adapun beberapa perlengkapan dalam membatik selain bahan baku dasar yang telah disebutkan di atas adalah sebagai berikut :

1. Gawangan berfungsi untuk menyangkutkan kain mori saat dibatik

2. Wajan untuk mencairkan malam

3. Anglo, berupa perapian untuk memanaskan malam

4. Tepas atau kipas

5. Saringan malam

2.5 Teknik dan Proses Membatik

Teknik membatik identik dengan teknik celup rintang. Karena itu, ciri khas dari batik adalah penggambaran corak dalam bentuk negatif. Dalam hal ini, terdapat kesamaan prinsip antar teknik membatik dengan menggrafis menggunakan teknik cukil kayu (cetak tinggi). Dalam cukil kayu juga dituntut keahlian untuk mengimajinasikan bentuk berlawan dari torehan cukil kayu seperti halnya penggunaan canting dalam membatik.

Dalam teknik pembuatannya, batik menjadi dua bagian besar, yaitu batik tulis dan batik cap. Kedua teknik tersebut memiliki rancangan, proses produksi dan karakteristik yang berbeda. Batik tulis ialah batik yang dihasilkan dengan menggunakan canting tulis sebagai alat bantu untuk merekatkan malam pada kain. Batik cap adalah batik yang menggunakan canting cap. Pemalaman relatif lebih cepat dibanding pemalaman dengan canting tulis. Namun dalam penggunaan batik cap sulit untuk menghasilkan pemalaman yang detail karena jika terlalu kecil detailnya akan menjadi kabur. Selain itu dalam baatik cap, canting cap yang digunakan harus menggunakan bahan logam karena jika menggunakan material kayu menyebabkan malam cepat mengeras dan masa pemakaiannya pun tidak terlalu lama. Hal ini dikarenakan kayu bersifat menyerap cairan sehingga mempercepat pelapukkan dan mengaburkan detail.

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan

Kain batik merupakan salah satu hasil kerajinan di Surakarta yang menjadi ciri khas kota ini. Dengan gambar dan motif klasik, menjadikannya terkenal di pasaran internasional. Kain batik ini dulunya mempunyai teknik pembuatan yang sangat rumit. Mulai dari pembuatan pola, penutupan dan pewarnaan dilakukan berulang-ulang hingga mendapat hasil yang diinginkan. proses penutupan kain dengan bahan malam atau semacam bahan lilin agar pori-pori kain tidak terwarnai. Alat yang digunakan untuk proses penutupan adalah canting, anglo, dan wajan kecil untuk memanasi malam. Batik Surakarta memiliki banyak jenis. Di antaranya adalah Batik surakarta, batik asli Surakarta, batik antik kraton Surakarta, batik pantai kraton Surakarta, daster batik Surakarta, batik putri Solo, batik "kelelawar" Surakarta.

3.2 Saran

Batik sebagai hasil produk budaya masyarakat tradisi Indonesia telah tumbuh dan berkembang sesuai dengan pergerakan zaman. Hal tersebut dapat dilihat dari masuknya pengaruh-pengaruh dari luar, baik yang mempunyai pengaruh positif maupun yang mempunyai pengaruh negatif.

Dewasa ini, pelestarian batik tradisional dilakukan oleh para produsen batik yang menyebarluaskan batik ke berbagai tempat, sehingga batik tidak hanya dikenal di Nusantara namun juga di luar negeri. Meskipun pengembangan batik, baik sdari segi visual maupun proses-pengerjaan mengarah pada perkembangan yang positif, namun perlu disadari bahwa batik keraton adalah suatu batik yang denganpakem-pakemnya yang berlaku mampu menciptakan ciri khas tersendiri. Selain itu, diharapkan dalam pengembangan batik keraton ini tidak terlepas dari pemahaman akan batik keraton itu sendiri, sehingga menghasilkan suatu wastra batik keraton yang tidak kehilangan nilai budayanya.


DAFTAR PUSTAKA

Aiwi, Hasan, dkk. 2000. Tata bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

http://desyika.blogspot.com/

http://museumbatikdanarhadi.blogspot.com/2008/01/batik-kraton-surakarta.html

http://www.merakmanis.com/tips.php?view=true&id=4

http://www.scribd.com/doc/16260315/Kajian-Batik-Klasik-Keraton-Solo

Keraf, Gorys. 1986. Komposisi. Jakarta: Gramedia.

Yuwono, Trisno dan Pius A. Partanto. 1994. Kamus Kecil bahasa Indonesia. Surabaya: Arkola.


DAFTAR GAMBAR

Gambar Batik Merak Solo


Gambar Batik Satria Manah dan Semen Rante


Tidak ada komentar:

Posting Komentar